Sorotan24.com, Indonesia – Menjalani kehidupan di negeri orang yang penuh dengan tantangan dan juga lika liku kehidupan pasti sangatlah berat. Terlebih, tidak ada satu orang pun yang dapat menolong ketika mengalami permasalahan ataupun kesulitan. Namun, hal tersebut bisa dijalani oleh pelajar hebat asal Indonesia ini. Ia adalah Alwien Parahita, seorang staf KBRI Berlin yang mendedikasikan hidupnya untuk membantu para WNI terutama mahasiswa asal Indonesia yang sedang menjalani studi di Jerman.
Awalnya, Alwien tidak pernah merencanakan langkah hidupnya namun kuasa Tuhan ternyata berbeda. Pada akhirnya, Alwien dapat menjalani serta mendedikasikan hidupnya di Berlin. Alwien yang saat ini menjabat sebagai Staf Politik di KBRI Berlin tersebut diketahui sudah 12 tahun bermukim di Ibu Kota Jerman.
Semasa remaja, Alwien merupakan seorang anak yang bisa dikatakan badung atau nakal bahkan hingga dirinya tak peduli dengan pendidikannya. Hingga akhirnya, semua itu berubah ketika dirinya harus mengikuti ujian akhir sebelum lulus dari
SMAN 81 Jakarta. Pada saat ujian akhir tersebut dan juga pada saat harus mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), Alwien berpikir bahwa dirinya akan tersisih karena selama ini ia tak pernah sedikitpun memikirkan dan melakukan langkah untuk sukses dan lulus dari UMPTN. Tak hanya itu, Alwien juga berpikir bahwa dirinya akan kalah dari kompetitor lain yang seumur dengannya.
Karena hal itulah, pada akhirnya Alwien tersadar bahwa selama ini ia telah banyak membuang waktu dan juga kesempatan untuk menggapai kesuksesannya. Dan, saat itu juga muncul sebuah pemikiran yang sebelumnya tak pernah muncul dari seorang Alwien yaitu “Saya mau melanjutkan pendidikan ke negara yang jauh. Yang tidak menggunakan Bahasa Inggris. Akhirnya pilihannya, jatuh ke Jerman,’’ ujar Alwien
Seperti dilansir dari jawapos.com, pria yang saat ini menjabat sebagai Staf Politik KBRI Berlin tersebut merupakan kelahiran Jakarta, 5 November 1988. Alwien memilih Jerman sebagai negara untuk tempat dirinya mendedikasikan hidup ialah karena biaya pendidikan di Jerman gratis dan juga Alwien ingin mempelajari bahasa baru. Namun, hal itu bukan menjadi penyelesaian untuk semua masalahnya. Pasalnya, sebelum kuliah, Alwien harus mengikuti ujian prauniversitas yang disebut Studienkolleg (Studkoll).
Alwien merupakan salah satu orang yang beruntung karena dirinya bisa langsung masuk ke Studienkolleg, yang ketika itu ia tempuh dalam kurun waktu satu tahun. Setelah berhasil menyelesaikan ujian prauniversitas tersebut. Akhirnya, Alwien berhasil masuk sebagai salah satu mahasiswa Jurusan Teknik Mesin di di Hochschule für Technik und Wirtschaft Berlin (HTW Berlin). Lagi-lagi keberuntungan menghampirinya karena Alwien merasa dirinya beruntung karena bisa lulus kuliah.
Tak hanya itu, Alwien mengatakan dirinya juga beruntung karena semasa kuliah ia bisa sambil bekerja. Namun, dengan berkuliah sambil bekerja menjadikan pendidikannya sempat berantakan. Akhirnya, Alwien kembali bangkit dan membuktikan bahwa walaupun pendidikannya sempat berantakan tapi pada akhirnya ia berhasil meraih gelarnya walaupun menurut Alwien angka kelulusan mahasiswa Indonesia di Jerman sangatlah rendah yakni di bawah 30%.
Karena hal itu juga, pada tahun 2012, Alwien bersama dengan rekannya memberanikan diri untuk membuat gebrakan berupa sebuah gerakan sosial yang disebut Gerakan Indonesia Peduli (GIP). GIP merupakan sebuah kursus untuk seluruh anak Indonesia yang akan tes masuk Studkoll.
Untuk mengembangkan gerakan sosial tersebut, Alwien menggunakan dana operasional yang ia peroleh dari dana pribadinya dan juga dana kolektif dari beberapa orang untuk menyewa sebuah tempat sebagai tempat pelaksanaan GIP tersebut. Untuk para tutor dalam GIP, Alwien menarik mahasiswa Indonesia atau siswa Studkoll yang ingin bekerja secara sukarela pada akhir pekan.
Alwien juga bercerita mengenai lika liku yang dihadapi ketika dirinya menjalankan GIP. Mulanya, GIP sempat berpindah-pindah ke beberapa tempat bahkan pada suatu waktu Alwien bersama dengan rekan-rekannya selaku pendiri GIP pernah menyewa tempat sirkus untuk tempat kursus GIP. Bahkan, GIP pernah bermasalah dengan hukum di Jerman.
Seperti dilansir dari jawapos.com, “Waktu itu saya sudah jadi tenaga honorer di KBRI Berlin, tempat kami sempat didatangi polisi karena mereka menganggap kami melakukan aktivitas illegal, menggunakan rumah tinggal tidak sesuai dengan peruntukannya,” jelas Alwien.
Dari seluruh lika liku permasalahan yang Alwien hadapi ketika menjalankan GIP membuat dirinya sempat berpikir “Mau dibawa kemana GIP?” dari pertanyaan itu muncul sebuah kesimpulan bahwa GIP harus memiliki izin atau harus dilegalkan. Karena, GIP tidak bisa terus-menerus menjadi sebuah gerakan non izin. Dan, dari kesimpulan itulah akhirnya pada tahun 2017, GIP pun resmi memiliki izin atau berbadan hukum.
Kemudian, pada tahun 2020, badan hukum GIP meningkat menjadi Gesellschaft mit beschränkter Haftung (GmbH) atau jika di Indonesia badan hukum tersebut seperti Perseroan Terbatas (PT). Setelah adanya peningkatan badan hukum tersebut, bergantilah nama Gerakan Peduli Indonesia (GIP) menjadi Germany Indonesia Professionals (GIP). Dimana, Germany Indonesia Professionals (GIP) memiliki pelayanan spesifik untuk pelajar yang ingin menembus Studkoll.
Seusai sukses mengalami peningkatan badan hukum dan juga perubahan nama. Masalah pun kembali menerjang GIP. Tepatnya ketika Agustus 2020, karena adanya pandemi COVID-19 mengakibatkan GIP hanya bisa melakukan kelas secara online.
Sebagai informasi tambahan, Alwien dan juga rekan-rekannya yang mendirikan GIP tidak pernah melupakan sisi sosial dan pemberdayaan. Hal itu terbukti dengan digelarnya salah satu acara dari GIP yang bernama GIP Talks dengan tema yang beragam mulai dari pendidikan hingga hukum.
Berbicara mengenai hukum, ternyata di Jerman banyak WNI yang juga terjerat masalah hukum. Masalah hukum di Jerman tentunya sangat berbeda dengan yang kerap dialami negara lain seperti Malaysia, Taiwan ataupun Arab Saudi yang banyak merekrut WNI sebagai pekerja migran.Di negara-negara itu, problematika yang sering dihadapi oleh WNI kebanyakan berkaitan dengan pidana.
Sementara, di Jerman, mayoritas masalah hukum yang dihadapi oleh WNI berkaitan dengan pelanggaran aturan, contohnya seperti izin tinggal. Hal itu terjadi karena banyaknya WNI yang kerap abai dan enggan bertanya hingga akhirnya secara tidak sadar, para WNI yang berada di Jerman terkena masalah hukum tersebut.
Untuk itulah, Alwien bekerjasama dengan seorang pengacara asal Jerman yakni Bernhardt Kanzler untuk memberikan edukasi sekaligus advokasi tentang hukum. Kerjasama tersebut timbul karena Alwien pun pernah bermasalah dengan hukum di Jerman. Bahkan, Alwien pernah menjadi klien dari Bernhardt Kanzler. Permasalahan hukum yang pernah menjerat Alwien berkaitan dengan izin tinggal dan untuk penyelesaiannya memakan waktu hingga sembilan bulan lamanya.
Dan, karena hal itu juga lah maka akhirnya Alwien memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya untuk membantu WNI yang ada di Jerman. Dan, dengan statusnya sebagai staf di KBRI membuat dirinya menjadi lebih mudah untuk melakukan hal itu.
“’Karena itulah, saya mengincar pekerjaan di KBRI. Terutama atase pendidikan KBRI, agar saya bisa berperan bagi anak-anak Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Jerman,” ungkap Alwien.
Bapak dari tiga orang anak sekaligus suami dari Fitria Anindhita itu menyatakan sejak dirinya masuk ke KBRI terutama saat dirinya menjabat sebagai orang penting di KBRI Berlin, membuat dirinya menjadi lebih mudah untuk melakukan kunjungan secara berkala ke berbagai kota di Jerman untuk menemui serta memberikan semangat sekaligus konseling kepada para siswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di negeri Hitler itu.