Sorotan24.com, Jakarta – Selain terkenal atas kisah cintanya bersama Ainun, BJ Habibie yang merupakan presiden ketiga Republik Indonesia juga merupakan seorang tokoh yang dikenal karena kecerdasannya. Beliau adalah mahasiswa studi teknik penerbangan dan spesialisasi konstruksi pesawat terbang yang berhasil juga merakit pesawat Indonesia pada masa itu.
Bacharuddin Jusuf Habibie adalah nama lengkapnya, namun selama ini selalu akrab dipanggil BJ Habibie. Beliau menamatkan sekolah menengahnya di SMA di SMAK Dago, Kota Bandung pada tahun 1954. Lalu melanjutkan pendidikan di ITB (Institut Teknologi Bandung) dan hanya berlangsung beberapa bulan di ITB karena Ia memutuskan untuk mengikuti jejak teman-temannya untuk bersekolah di Jerman.
Masa Kecil

BJ Habibie lahir di Pare-Pare pada tanggal 25 Juni 1936 dengan nama Bacharuddin Jusuf Habibie. Ayahnya bernama Alwi Abdul Jalil Habibie yang merupakan seorang ahli pertanian dan berasal dari Gorontalo. Dan Ibunya bernama R.A. Tuti Marini Puspowardojo yang merupakan seorang spesialis mata yang berasal dari Yogyakarta. Habibie adalah anak keempat dari delapan bersaudara.
BJ Habibie tumbuh di keluarga religius yang mana ayahnya seringkali membacakan ayat suci Al-Qur’an semenjak ia kecil. Dengan kebiasaannya sejak kecil yang sering mendengarkan Al-Qur’an memberikan pengaruh yang positif pada dirinya sehingga ketika Habibie masih berusia 3 tahun, ia sudah mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar. Dan sejak kecil ia memang sudah dikenal sebagai anak yang cerdas.
Baca Juga: Profil Singkat Presiden Kedua RI: Soeharto
Masa Pendidikan
Habibie muda menempuh pendidikannya di SMAK Dago dikarenakan setelah sang ayah meninggal dunia, ibunya pun memutuskan untuk pindah ke Bandung, setelah lulus ia melanjutkan kuliah di ITB yang saat itu bernama Universitas Indonesia Bandung dengan jurusan Teknik Mesin.
Karena di masa pemerintahan Presiden Soekarno pemerintah sedang banyak membiayai para anak bangsa untuk bisa bersekolah ke luar negeri, maka Habibie pun waktu itu masuk ke rombongan kedua yang khusus dikirim ke negara luar, namun tanpa beasiswa melainkan dibiayai oleh ibunya.
Masa Pendidikan di Jerman
Di jerman, Habibie bersekolah di Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule dengan jurusan Teknik Penerbangan spesialisasi Konstruksi pesawat terbang. Di kala hari libur beliau memanfaatkannya untuk bisa belajar, ikut ujian dan mencari uang sehingga bisa membeli buku. Namun jika masa libur habis, maka seluruh kegiatannya dikesampingkan dan hanya fokus pada belajar. Hal ini berbeda dengan teman lainnya dimana ketika libur mereka lebih suka bekerja dan mencari pengalaman tanpa memikirkan ujian.
Pada tahun 1960, BJ Habibie mendapatkan gelar Diploma Ing di Jerman dari Technische Hochschule dan predikatnya adalah Cum Laude atau sempurna dengan nilainya rata-rata adalah 9,5. Dengan mendapatkan gelar Insinyur ini, beliau pun mendaftarkan diri bekerja di Firma Talbot yang merupakan industri kereta api di Jerman. Saat itu, Firma Talbot tersebut sedang butuh wagon dengan volume yang besar. Hal ini lantaran wagon itu akan mengangkut barang ringan dengan volume besar. Talbot butuh wagon dengan jumlah 1000 dan mendapati persoalan ini, maka Habibie pun berusaha mengaplikasikan cara konstruksi dalam membuat sayap pesawat terbang lalu diterapkan pada wagon yang ternyata membuahkan hasil.

Meraih Gelar Doktor
Tak berhenti disitu, BJ Habibie melanjutkan ke gelar doktornya dimana ia melanjutkan studi ke Technische Hochschule Die Facultaet de Fuer Maschinenwesen Aachen untuk mendapatkan gelar doktor. Namun pada tahun 1962, BJ Habibie menikah dengan Hasri Ainun Habibie dan membawanya ke Jerman. Hidupnya saat itu begitu sulit dimana beliau seringkali harus berjalan kaki ke tempat kerja yang jaraknya jauh demi menghemat dalam pengeluaran uangnya. Selain itu Habibie pun harus pulang malam padahal tetap harus belajar untuk studinya. Hingga akhirnya setelah berjuang dengan pendidikannya, BJ Habibie akhirnya bisa mendapatkan gelar Doktor Ingenieur dari Technische Hochschule Die Facultaet de Fuer Maschinenwesen Aachen dengan nilai summa cumlaude dan rata-rata nilainya adalah 10 sehingga sangat sempurna.
Baca Juga: Perjalanan Hidup Soekarno, Bapak Proklamator Indonesia
Kembali ke Indonesia
Setelah menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelarnya, BJ Habibie akhirnya pulang ke Indonesia hingga kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT selama 20 tahun dan memimpin perusahaan BUMN Industri Strategis selama 10 tahun. Di tahun 1995, beliau berhasil memimpin proyek pembuatan pesawat yang diberi nama N250 Gatot Kaca dimana menjadi pesawat yang dibuat pertama oleh Indonesia.
Pesawat yang dirancang oleh BJ Habibie ini bukanlah pesawat yang dibuat secara asal-asalan melainkan sudah dipikir dan didesain matang dengan ilmu yang dimiliki oleh BJ Habibie. Pesawat yang diciptakannya ini sudah bisa dibilang mampu terbang tanpa oleng berlebihan dengan teknologi canggih dan terdepan kala itu dan bahkan sudah dipersiapkan untuk bisa 30 tahun ke depan. Untuk melengkapi desain awalnya saja, BJ Habibie butuh waktu selama 5 tahun. Pesawat ini juga menjadi satu-satunya pesawat yang turboprop di dunia dimana menggunakan teknologi Fly By Wire. Pada saat itu pesawat N250 Gatot Kaca ini telah terbang hingga 900 jam dan selangkah lagi bisa masuk sertifikasi untuk Federal Aviation Administration. Di bawah komando BJ Habibie, IPTN berhasil mempekerjakan hingga 16.000 orang. Namun malangnya, ketika IPTN sedang berjaya, justru Presiden Soeharto memerintahkan penutupan IPTN beserta industri strategis lain karena alasan krisis moneter di tahun 1996 sampai 1998. Sebanyak 16.000 karyawan IPTN pun menyebar secara terpaksa ke pabrik pesawat di negara lain demi mencari rezeki di wilayah Brazil, Kanada, Eropa hingga Amerika. Parahnya lagi, justru Indonesia yang membeli pesawat dari negara tersebut.
Masa jabatan Presiden

Akhirnya setelah IPTN ditutup, BJ Habibie masih menjadi Menteri Riset dan Teknologi. Beliau kemudian diangkat menjadi Wakil Presiden di tanggal 14 Maret 1998 untuk mendampingi Presiden Soeharto. Namun hanya beberapa bulan setelah beliau menjabat, gejolak politik pun tak bisa terhindarkan dan mencapai puncaknya. Presiden Soeharto yang sudah bertahta di kursi presiden selama puluhan tahun akhirnya lengser dengan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998.
Lengsernya Presiden Soeharto pun secara otomatis menjadikan BJ Habibie secara resmi menggantikannya menempati kursi nomor satu di Indonesia. Beliau menjadi Presiden ketiga di RI. BJ Habibie hanya menjabat sekitar satu tahun saja dimana beliau justru mewarisi kondisi saat Indonesia sedang dalam masa rusuh dan banyak wilayah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. Kondisi Indonesia saat itu memang betul-betul memprihatinkan. Meski begitu BJ Habibie tetap berusaha untuk membangun Indonesia. Namun BJ Habibie pun dipaksa lengser kala itu setelah adanya sidang umum MPR di tahun 1999. Pidato pertanggungjawaban yang diberikannya ditolak MPR dengan alasan Timor Timur yang lepas dari Indonesia saat itu. Setelah jabatannya lepas, KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden penggantinya. BJ Habibie pun sudah kembali menjadi warga negara Indonesia biasa dan kembali bermukim di Jerman meski sesekali pulang ke Indonesia.
Baca Juga: Sosok Pejuang Emansipasi Wanita dan Perjalanan Hidupnya
Meninggalnya Ainun
Pada tanggal 22 Mei 2010 dikabarkan bahwa Ibu Hasri Ainun Habibie telah meninggal dunia di Jerman karena penyakit kanker ovarium yang dideritanya. Ibu Ainun meninggal di hari Sabtu pukul 17.30 waktu Jerman.

Hal ini sangat menjadi duka yang mendalam bagi Bapak Habibie. Karena baginya, Ibu Ainun adalah segalanya. Beliau pernah berkata jika Ibu Ainun adalah mata untuk bisa melihat hidupnya. Ibu Ainun juga merupakan pengisi kasih di hidupnya baik di kala susah hingga senang sekalipun. Selama 48 tahun menikah, BJ Habibie dan Ainun tidak pernah terpisah. Ibu Ainun selalu mengikuti kemanapun BJ Habibie pergi dengan rasa sabar dan kasih sayang yang penuh. Bahkan BJ Habibie sendiri tidak tahu menahu akan kanker overium yang diidap oleh sang istri dan hanya tahu 3 hari sebelum Ibu Ainun meninggal lantaran Ibu Ainun tak pernah mengeluh. Betapa terluka hati BJ Habibie saat itu. (NWKusuma/ed.)